Palangka Raya – Kasus dugaan penyalahgunaan perizinan ekspor komoditas tambang zircon yang mencuat di Kalimantan Tengah menimbulkan pertanyaan serius tentang tata kelola pertambangan dan perdagangan mineral. Praktisi pertambangan Drs. Sutrisno, mantan Ketua Forum Kepala Teknik Tambang Kalteng, memaparkan analisis mendalam terkait persoalan ini dari sisi teknis pertambangan maupun ketentuan hukum yang berlaku.
Menurut Sutrisno, ekspor zircon wajib mematuhi dua rezim hukum, yaitu pertambangan dan perdagangan. Dari sisi pertambangan, aturan mengacu pada UU Minerba No. 3 Tahun 2020 serta PP No. 96 Tahun 2021, yang mensyaratkan IUP Operasi Produksi, Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), serta kewajiban pembayaran penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Sementara itu, dari sisi perdagangan, dasar hukum merujuk pada UU Perdagangan No. 7 Tahun 2014 serta Permendag No. 24 Tahun 2018 tentang Certificate of Origin (COO) atau Surat Keterangan Asal.
“Namun, di lapangan ditemukan perusahaan pemegang IUP dan RKAB yang justru menampung zircon dari tambang ilegal, tetapi tetap memperoleh COO resmi. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan dugaan tindak pidana,” tegas Sutrisno.
RKAB Bukan Tameng Hukum
Ia menjelaskan, RKAB sejatinya hanya merupakan dokumen rencana kerja tahunan perusahaan. Meski memiliki RKAB sah, perusahaan yang membeli atau menampung mineral dari tambang ilegal tetap terjerat Pasal 161 UU No. 3 Tahun 2020, yang melarang menampung atau memperjualbelikan mineral tanpa izin. Pelanggaran pasal ini dapat berujung pidana penjara serta denda.
COO Berpotensi Cacat Hukum
Lebih lanjut, Sutrisno menekankan COO yang diterbitkan dengan data tidak benar menjadi cacat hukum. Padahal COO berfungsi membuktikan asal barang agar bisa mendapatkan fasilitas tarif preferensi sekaligus memenuhi persyaratan impor negara tujuan.
“Jika zircon berasal dari tambang ilegal, maka data yang diserahkan tidak benar. COO yang diterbitkan menjadi tidak sah dan bisa menjerat eksportir dengan sanksi administratif hingga pidana berdasarkan Pasal 104 UU Perdagangan,” paparnya.
Ancaman Kerugian Negara dan Reputasi Dagang
Zircon ilegal, tambahnya, tidak menyumbang PNBP maupun Pajak Daerah Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) sebagaimana diatur dalam UU No. 1 Tahun 2022 tentang HKPD. Kondisi ini tidak hanya berpotensi menimbulkan kerugian negara, tetapi juga dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi apabila melibatkan aparat.
Di tingkat global, pelanggaran serupa juga dinilai membahayakan reputasi dagang Indonesia. “Jika tidak ditindak tegas, negara tujuan ekspor bisa mencabut fasilitas tarif preferensi bahkan menjatuhkan sanksi dagang,” jelas Sutrisno.
Rekomendasi Kebijakan
Sebagai langkah antisipasi, Sutrisno merekomendasikan penguatan verifikasi COO dengan melibatkan Dinas ESDM, integrasi sistem digital antara e-SKA Kemendag dan modul RKAB/PNBP Minerba, serta penerapan sanksi tegas berupa pencabutan hak ekspor dan IUP bagi perusahaan yang menampung mineral ilegal.
Selain itu, ia menekankan pentingnya koordinasi antara inspektur tambang dan pengawas perdagangan. “Pengawasan lapangan harus diperkuat, termasuk dengan pendelegasian kewenangan ke Gubernur dan PPNS,” katanya.
Di akhir pemaparan, Sutrisno menegaskan bahwa COO bukan sekadar dokumen formalitas. Jika perusahaan dengan RKAB sah menampung zircon dari tambang ilegal, maka COO yang diterbitkan otomatis tidak sah.
“Pelaku terancam pidana pertambangan dan perdagangan, negara dirugikan dari sisi penerimaan, dan reputasi dagang Indonesia ikut dipertaruhkan,” pungkasnya. Zal