Sebuah catatan atas serangan satwa liar terhadap manusia
Beberapa hari lalu, media ini merilis sebuah berita bertajuk “ Jasad Pria Yang Diterkam Buaya, Akhirnya Ditemukan “ sebuah fenomena yang menarik untuk diulas secara mendalam. Kejadian serangan satwa liar terhadap manusia sudah banyak terjadi utamanya wilayah-wilayah eksploitasi manusia yang berbatasan langsung dengan habitat satwa liar seperti serangan kawanan gajah liar di daerah Lampung, serangan Harimau Sumatera di Jambi dan yang baru-baru ini diwilayah Kotawaringin Timur adalah serangan buaya yang memakan korban jiwa.
Berdasarkan data yang dihimpun dari laporan berita dan data parsial dari BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Provinsi Kalimantan Tengah dalam kurun waktu 10 tahun terkahir, tercatat ada 51 serangan buaya diwilayah Kalimantan Tengah dengan jumlah korban 7 orang meninggal dunia dan paling tinggi tercatat pada tahun 2024 dimana korban meninggal dunia akibat serangan buaya sebanyak 3 orang meninggal dunia. Wilayah yang sering dilaporkan terjadi konflik fatal adalah Kabupaten Kotawaringin Timur, terutama di sekitar Sungai Mentaya dan kecamatan seperti Teluk Sampit dan Pulau Hanaut, serta Kabupaten Pulang Pisau.
Penyebab Serangan Satwa Liar
Beberapa pemerhati lingkungan menjelaskan bahwa salah satu penyebab meningkatkan serangan satwa liar terhadap manusia adalah karena menurunnya kuantitas dan kualitas ruang hidup satwa liar karena kepentingan manusia.
Peneliti dari Pusat Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yakni Prof. Garnetiasih dan Prof. Hendra Gunawan, menyatakan bahwa penyebab maraknya konflilk dan serangan satwa liar terhadap manusia dipicu oleh alih fungsi hutan sebagai habitat asli satwa liar menjadi lahan perkebunan, lahan pertanian pemukiman dan pembangunan infrastruktur yang berdampak pada hilangnya habitat (habitat loss), pemecahan habitat (habitat fragmentation) dan penurunan kualitas habitat (habitat degradation).
Argumentasi ini memang cukup beralasan.
Diwilayah Kalimantan Tengah sendiri berdasarkan data yang dirilis Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup bahwa luas kawasan hutan di provinsi ini tercatat + mencapai 12.719.707 hektare yang peruntukkan meliputi KSA/KPA seluas 604.957 hektare, Hutan lindung seluas 391.604 hektare, Hutan produksi terbatas seluas 335.571 hektare, Hutan produksi seluas 896.706 hektare, Hutan produksi konversi seluas 258.274 hektare dan APL dan perairan seluas 629.779 hektare.
Namun demikian berdasarkan data yang diterbitkan Global Forest Watch tercatat bahwa Kalimantan Tengah telah kehilangan 1,69 juta hektar hutan primer basah atau 19,6% dari total luas hutan primer di Kalimantan Tengah dalam kurun waktu 2002-2023 yang rata-rata laju deforestasi sebesar 1,36% tahun. (https://www.globalforestwatch.org).
Sebagian besar konversi kawasan hutan disebabkan karena ekspansi perkebunan kelapa sawit, konsesi hutan untuk industri Kehutanan dan Pertambangan serta alih fungsi lahan karena program pemerintah dan perluasan kawasan permukiman.
Berdasarkan data dari DPMPTSP Provinsi Kalimantan Tengah tercatat bahwa luas perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah meningkat rata-rata 10,6% per tahun dalam 5 tahun terakhir. Pada tahun 2023, luas perkebunan kelapa sawit di provinsi ini mencapai 2.340.558 hektar. Laporan lain yang disusun oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan tengah yang dirilis dalam tempo.co menyatakan bahwa total persentase konsesi kehutanan yang diberikan untuk pemenafaatan kawasan hutan sebesar sampai dengan tahun 2024 adalah sebesar 32,93% dengan lahan 5.056.918 hektare dan izin pertambangan 8,03% dengan lahan 1.233.095 hektare, serta izin perkebunan–khususnya untuk kelapa sawit, mencapai 4.809.162 hektare.
Hal ini adalah salah satu faktor utama penyebab meningkatnya laju deforestasi di Kalimantan Tengah, dimana WALHI mencatat pada periode 2000-2004 terdapat 179.517 hektare hutan yang terkonversi menjadi kebun kelapa sawit, periode 2005-2009 seluas 588.060, periode 2010-2014 seluas 415.436 hektare, dan periode 2015-2019 seluas 727.184 hektare. (https://www.tempo.co/lingkungan/korporasi-kuasai-72-28-persen-wilayah-kalteng-walhi-ketimpangan-sumbang-tingginya-deforestasi-).
Disamping itu walaupun persentasenya kecil, perubahan fungsi kawasan hutan menjadi kawasan lain baik untuk pertanian dan perkebunan rakyat maupun perluasan pemukiman dan fasilitas publik juga berperan penting dalam meningkatkan laju deforestasi.
Meningkatnya laju deforestasi dan penurunan luas kawasan hutan adalah faktor utama dan pengaruhnya sangat siginfikan bagi keanekaragaman hayati yang terbentuk alami pada kawasan hutan.
Para peneliti dari Pusat Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) meyakini bahwa alih fungsi hutan sebagai habitat asli satwa liar menyebabkan satwa liar akan mendalami dampak yang signifikan yakni :
1. Kehilangan Tempat Tinggal : Hutan, rawa gambut, dan ekosistem alami lainnya adalah rumah bagi berbagai jenis satwa. Ketika lahan ini diubah menjadi perkebunan (seperti kelapa sawit), area pertambangan, atau penggunaan lain, satwa liar kehilangan tempat mereka untuk hidup, berlindung, mencari makan, dan berkembang biak.
2. Fragmentasi Habitat : Seringkali, hutan tidak hilang sepenuhnya tetapi terpecah menjadi bagian-bagian kecil yang terisolasi oleh perkebunan atau infrastruktur. Hal ini menyulitkan satwa liar (terutama yang memiliki wilayah jelajah luas) untuk bergerak, mencari pasangan (yang dapat menurunkan keragaman genetik), dan mengakses sumber daya yang cukup. Populasi menjadi terisolir dan lebih rentan.
3. Berkurangnya Sumber Makanan dan Air : Konversi lahan seringkali menghilangkan tumbuhan asli yang menjadi sumber pakan utama bagi banyak hewan. Perubahan tata air akibat drainase (misalnya di lahan gambut untuk perkebunan) juga dapat mengurangi ketersediaan air bersih.
4. Meningkatnya Konflik Manusia-Satwa Liar : Ketika habitat alami menyusut, satwa liar terpaksa keluar mencari makan ke area yang dikelola manusia, seperti perkebunan atau bahkan pemukiman. Hal ini sering menyebabkan konflik, di mana satwa dianggap sebagai hama (misalnya orangutan atau gajah yang masuk kebun) dan dapat diburu atau dibunuh, atau sebaliknya dapat membahayakan manusia.
5. Ancaman bagi Spesies Langka dan Endemik : Kalimantan Tengah adalah rumah bagi banyak spesies langka dan terancam punah, seperti Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus), Bekantan, Owa kalimantan, Beruang Madu, serta berbagai jenis burung dan reptil. Kehilangan habitat adalah ancaman terbesar bagi kelangsungan hidup spesies-spesies ini. Hutan rawa gambut yang banyak dikonversi memiliki keanekaragaman hayati unik yang sangat rentan.
6. Penurunan Keanekaragaman Hayati : Secara keseluruhan, perusakan habitat menyebabkan penurunan jumlah dan jenis spesies (keanekaragaman hayati) di suatu wilayah.
Konklusi
Sejatinya alam sudah menyediakan seluruh yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan hasrat hidup manusia. Ketika manusia berada dipuncak tertinggi rantai makanan, maka dominasi manusia terhadap alam menjadi semakin besar dan semakin banyak yang jika tidak terkendali akan menghancurkan alam itu sendiri.
Ekploitasi manusia terhadap alam seharusnya diimbangi dengan upaya untuk melestarikan dan menjaganya, karena jika tidak dilakukan maka kita akan mewariskan kondisi alam yang mungkin tidak lagi layak untuk dihuni generasi mendatang.
Meningkatnya serangan satwa liar serta kejadian bencana alam yang mengalami banyak anomali saat ini ditambahnya dengan terhadap sebenarnya adalah sebuah bentuk alarm dan sinyal peringatan yang disampaikan alam kepada kita umat manusia dan sudah seharusnya kita menjaganya demi kelangsungan anak, cucu dan generasi kita dan bukankah Allah sudah mengingatkannya dalam Surah Al-Baqaroh Ayat 205 “ Dan janganlah kamu membuat kerusakkan dimuka setelah Aku memperbaikinya “. Kita Jaga Alam, Alam Jaga Kita. (budi kurniawan)