Mudik bagi masyarakat Indonesia adalah sebuah fenomena sosial budaya yang berkembang dan telah ada dalam masyarakat Indonesia sejak lama.
Fenomena ini digambarkan sebagai sebuah rutinitas tahunan masyarkat Indonesia yang bekerja di perkotaan dan kemudin kembali ke kampung halamannya dalam satu kurun waktu tertentu dan biasanya terjadi pada saat Hari Raya Idul Fitri.
Sebagai sebuah fenomena sosial, mudik merupakan sebuah bentuk pengakuan orang indonesia terhadap sistem sosial yang ada dimasyarakat kita, dimana hubungan kekeluargaan dan ikatan emosional yang terbangun didalamnya merupakan sebuah keniscayaan bagi hampir sebagian besar orang Indonesia.
Saking tingginya pengaruh fenomena mudik terhadap sistem sosial di Indonesia tidak jarang mudik sering menjadi latar belakang pengambilan kebijakan bagi Pemerintah dan juga Swasta, mulai dari skema libur dan cuti bersama yang diperpanjang, pemberian THR dan bonus bagi pekerja dan juga masyarakat, perbaikan sarana infrastruktur dan dukungan bagi layanan publik hingga sampai kebijakan pembagian bantuan sosial yang kuantitas and frekwensinya diperbanyak menjelang Hari Raya Idul Fitri dan memasuki masa mudik.
Pun demikian, fenomena mudik tidak hanya berpengaruh terhadap sistem sosial di Indonesia. Beberapa pakar ekonomi pun melihat bahwa gairah perekonomian Indonesia salah satunya bisa dilihat dari perputaran uang selama masa mudik dan libur lebaran.
Pakar ekonomi UGM, Yudistira Hendra Permana, Ph.D sebagaimana dilansir dalam detik.com menjelaskan bahwa berdasarkan data yang dihimpun KADIN Indonesia, perputaran uang selama masa libur lebaran dan mudik tahun 2025 diprediksi akan mengalami penurunan hanya sebesar 137,9 Triliun dibanding tahun 2024 sebesar 157,3 Triliun. Yudistira Hendra Permana, Ph D, mengungkapkan turunnya konsumsi lebaran ini disebabkan penurunan kemampuan daya beli masyarakat.
Menurutnya, temuan ini tercermin dari data tren deflasi yang terjadi.
“Perbedaan tren konsumsi ini berkaitan dengan tren deflasi yang berlangsung hingga sekarang, melemahnya nilai tukar, kenaikan harga emas yang tinggi, penurunan IHSG, itu adalah hal-hal yang mengindikasikan kita tidak baik-baik saja,” jelasnya dalam laman UGM dikutip detik.com Rabu (26/3/2025).
Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh peneliti di Center Of Reform For Economics (CORE) dalam rilis di CNBC Indonesia yang juga menemukan kejanggalan dalam pola konsumsi masyarakat indonesia jelang mudik dan lebaran tahun 2025 . Gejala anomali konsumsi rumah tangga menjelang lebaran menurut CORE Indonesia tertangkap dari tren deflasi pada awal 2025. BPS kembali mencatat deflasi pada Februari 2025, baik secara tahunan (-0,09%), bulanan (-0,48%) maupun year to date (-1,24%).
Menurut lembaga itu, faktor terbesar penyumbang deflasi memang berasal dari kelompok pengeluaran perumahan, air, listrik dan bahan bakar rumah tangga, yang dipicu oleh insentif diskon tarif listrik 50% yang diberikan pemerintah untuk rumah tangga kelas menengah sejak dari Januari hingga Februari 2025 lalu.
Namun, janggalnya, deflasi pada Februari 2025 tidak hanya terjadi pada kelompok pengeluaran tersebut, melainkan juga pada kelompok makanan, minuman dan tembakau, dengan andil sebesar -0,12% secara bulanan yang artinya daya beli masyarakat di sektor yang paling primer juga mengalami penurunan.
Indikasi lain juga dapat dilihat dari melemahnya pertumbuhan penjualan beberapa ritel menguatkan hasil survei IPR yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
Misalnya, pertumbuhan penjualan Indomaret melambat signifikan dari 44,7% pada 2022- 2023, menjadi hanya 4% pada 2024. Alfamart, dari 13,9% pada 2022 terpangkas menjadi 10% pada 2024. Pun juga Ramayana, dari 8.1% pada 2022, menjadi hanya 0.1% pada 2024. Perlambatan juga terjadi pada ritel kelas menengah atas, seperti Hypermart.
Pertumbuhan penjualannya tergunting setengah, dari 4,8% pada 2022 menjadi hanya 2,3% pada 2024. Matahari bahkan penjualannya terjun bebas (-2,6%) pada 2024.
Indikasi lain dari anomali ini juga dilihat dari Survei Potensi Pergerakan Masyarakat Angkutan Lebaran 2025 Kementerian Perhubungan yang hanya mencatat 146,48 juta pemudik, jauh di bawah jumlah pemudik pada 2024 yang mencapai 193,6 juta, atau turun 24%.
Penurunan jumlah pemudik pada lebaran 2025 juga mengindikasikan adanya penurunan pendapatan yang dapat dibelanjakan oleh rumah tangga kelompok menengah ke bawah. Alhasil, banyak dari rumah tangga mengurungkan niat untuk mudik ke kampung halaman. Dalam laporan itu, CORE Indonesia juga mengungkap penyebab anomali ya data konsumsi jelang Lebaran 2025, mulai dari maraknya PHK, hingga sulitnya mencari kerja di sektor formal.
Permasalahan itu menjadi akumulasi dari deindustrialisasi dini yang terjadi di Indonesia ditambah lagi dengan efesiensi anggaran pemerintah sehingga sektor yang seharusnya menjadi salah satu sektor utama mendongkrak ekonomi melalui belanja pemerintah juga mengalami penurunan yang signifikan.
“Jika melemahnya daya beli masyarakat menjelang Ramadhan dan lebaran 2025 dibiarkan terus menerus, bisa jadi akan menggerus kinerja ekonomi domestik dan menurunkan kualitas hidup masyarakat pada umumnya. Rendahnya pendapatan, secara sosial, juga dapat memicu konflik horizontal di tengah tekanan kebutuhan ekonomi yang semakin mahal,” tulis CORE.
Apa yang disampaikan diatas tentu adalah sebuah gambaran betapa kondisi ekonomi Indonesia saat ini sedang mengalami dinamika yang sangat serius. Saya memahami bahwa fenomena mudik dan libur lebaran adalah sebuah kondisi dimana trend masyarakat kita akan cenderung akan lebih banyak membelanjakan uangnya dan pola konsumsi akan jauh meningkat secara periodik dalam kurun waktu satu tahun.
Hal ini terjadi karena, bagi masyarakat Indonesia, fenomena mudik adalah sebuah bentuk pengakuan identitas sosial dan status sosial.
Tidak jarang bagi masyarakat kita pencapaian keberhasilan personal biasanya juga diukur dari apa yang “dibawa” dan “dibelanjakan” seseorang pada saat dia mudik ke kampung halamannya.
Orang yang mudik dalam definisi sosial masyarakat kita adalah orang yang bekerja diperantauan dan kembali ke kampung halaman pada satu kurun waktu tertentu untuk bertemu dengan keluarga, sanak saudara dan masyarakat di kampung halamannya dan keberhasilannya dalam perantauan akan “ditunjukkannya” dalam fenomena mudik. Tidak heran jika banyak pemudik kita yang rela membelanjakan banyak uangnya hanya untuk menunjukkan status sosialnya bagi keluarga dan masyarakat dilingkungannya pada saat mudik.
Namun demikian, melihat fenomena ekonomi jelang mudik dan lebaran tahun 2025 yang diungkapkan diatas terdapat benang merah yang sangat signifikan bahwa kondisi ekonomi indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Penurunan daya beli masyarakat bahkan menurunnya minat masyarakat untuk mudik adalah salah satu indikatornya. Mudik tahun ini akan mungkin berpotensi tidak seramai tahun-tahun kemarin, namun fenomena mudik tetap akan menjadi salah satu bagian yang membentuk sistem sosial dan ekonomi masyarakat kita.
Mudik tetap akan menjadi salah satu indikator penting bagi kita untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakat, karena sejatinya meningkatnya kualitas kesejahteraan masyarakat akan tergambar dalam status sosial yang dibawa dan ditunjukkannya pada saat MUDIK.
Selamat Mudik 2025. (budi kurniawan)